music

Friday, 12 June 2015

MINANGKABAU


 PENDAHULUAN

Berdirinya suatu bangsa yang maju, sekaligus menjadi tongkat estafet penerus generasi-generasi yang sudah mulai pensiun bergantung pada remaja. Peranan remaja yang besar dalam berbagai kepentinagan menyangkut juga masalah penerapan kebudayaan minangkabau yang akan diwariskan pada generasi penerus adat dan budaya minang dimasa selanjutnya.

Salah satu budaya minang terlihat dalam ruang lingkup kecil yang mulai mencair kekentalannya adalah "tatakrama berbicara". Aturan- aturan bicara, teknik-teknik bicara, serta tutur kata bicarapun juga diatur dalam minang sudah tidak diindahkan lagi oleh remaja zaman sekarang . Hal inilah yag sangat disayangkan terhadap remaja minang sekarang. Lengah akan kebudayaan sendiri dan membiarkan kebudayaan minang mencair adalah suatu hal yang sangat fatal dalam pembentukan remaja minang yang baik dan beradat pada generasi yang akan datang.

Tatakrama berbicara dapat diimplementasikan melalui berbagai macam cara yang salah satunya adalah pergaulan. Pergaulan remaja minang pada zaman sekarang,  mulai bergeser dari landasan adat minang yang telah ditentukan. Hal itu dapat terlihat pada tingkah laku, sifat, serta sikap para remaja minang dalam kehidupan sehari-hari yang sudah menyelewang.

Penyelewengan demi penyelewengan terjadi. Saking maraknya penyelewengna tersebut, persentase angka remaja yang masih tau dengan adat adan kebudayaan minang dapat dihitung dengan jari (istilahnya). Banyaknya remaja-remaja yang tidak tau dengan adat dan kebudayaan minagkabau membuat posisi adat dan kebudayaan tersebut terancam, bahkan bekemungkinan besar terhapuskan dari pelipis mata remaja minang itu sendiri.

Latar belakang tema ini diambil adalah karena banyaknya penyelewengan yang terjadi pada remja minang dalam tatakrama berbicara dan kurangnya pengimplementasian adat dan tatakrama minang tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sekaligus untuk menghimbau para remaja agar menengok kebelakang tentang keadaan nagarinya, terutama Minangkabau yang sekarang adat dan kebudayaannya perlahan mulai mencair dan terancam. Pencairan itu akan menimbulkan dampak yang besar terhadap adat dan kebudayaan minang kedepan, salah satunya adalah terhapusnya adat dan kebudayaan minang dikalangan masyarakat.




ISI

 Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat merupakan satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis, hingga Ambon dan Ternate. Agama Islam pada umumnya terintagrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut.
Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi ada beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial. Orang Minangkabau memahami ajaran adatnya akan memandang bahasa dan budi itu berada pada derajat yang sama. Dalam mamangan (ungkapan-ungkapan berisi kearifan) adat Minangkabau dikatakan bahwa yang baik adalah budi, yang indah adalah bahasa atau ucapan (nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago/ nan baiak iyolah budi, nan endah iyolah baso). Melalui tutur kata yang disampaikan seseorang kepada orang lain dapat dilakukan penilaian terhadap budi mereka. Budi tidak hanya berkaitan dengan etika, tapi juga dengan akal pikiran atau kecerdasan dan kesadaran sebagai manusia dan bagian dari sebuah komunitas. Norma tentang cara berbicara dan penilaian-penilaian kultural terhadap praktik  penggunaan bahasa dapat menjadi titik berangkat untuk memahami lebih jauh bagaimana etnis Minangkabau membangun konsep filosofis tentang komunikasi. Konsep tersebut menjadi bagian dari filsafat hidup atau alam pemikiran orang Minangkabau terhadap hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Dengan komunikasi, maka konstruksi alam pemikiran tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, agar konseptualiasi hubungan tadi tidak mengalami kehancuran. Orang Minangkabau akan kehilangan esensi kulturalnya apabila mereka sudah melepaskan diri dari keterikatan yang kental dengan alam, karena dalam prinsip hidup mereka alam itu adalah guru (alam takambang jadi guru, alam terkembang jadi guru). Bagi orang Minangkabau, komunikasi itu suatu kegiatan yang sangat kompleks. Komunikasi juga disangkutkan dengan kegiatan rohaniah yang disebut raso jo pariso (rasa dan periksa), yang menjadi sumber dari tahu di nan ampek  (memahami empat perkara), yaitu tahu di diri (kenal pada diri sendiri), tahu di urang (memahami orang lain), tahu di alam (memahami alam), tahu di Tuhan(menyadari adanya Tuhan).
Sumber etika komunikasi orang Minangkabau adalah Islam dan adat. Sebelum menerima Islam sebagai satu-satunya agama yang dianut, etnis Minangkabau hidup di bawah aturan norma-norma dan hukum adat. Setelah Islam masuk, orang Minangkabau tetap mempertahankan sebagian besar adatnya dan dengan cerdiknya mengkombinasikan aturan adat dengan Islam, sehingga kini keduanya bersatu dalam sebuah sebutan Adat Basandi Syarak, Syarak  Basandi ka Kitabullah (Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi ke Kitabullah) yang disingkat ABS-SBK. Artinya, adat Minangkabau berperan sebagai praktik kebudayaan sehari-hari, yang menjadikan syariat sebagai rujukannya, dan syariat itu asalnya dari Quran atau kitabullah.
Adat adalah sumber nilai yang penting disamping Islam. Oleh sebab itu,untuk memahami etika komunikasi etnis Minangkabau tidak cukup hanya dengan mempelajari Islam. Bahkan adat lebih banyak berperan dalam membentuk etika orang Minangkabau dibandingkan Islam. Sebabnya, sebagai ajaran yang datang belakangan Islam hanya mengisi ruang-ruang kosong – dan menggantikan aturan-aturan yang dianggap menentang aqidah dari sistem sosial orang Minangkabau yang telah berusia sangat tua. Adat Minangkabau terdiri atas empat tingkatan, diantara lain :
Adat nan Sabana Adat atau adat yang azazi, yaitu kenyataan atau peraturan yang berlaku dalam alam yang merupakan ketentuan Allah, yang didasarkan berdasarkan ajaran Islam (syarak). Adat nan Sabana Adat merupakan ketentuan yang bersifat multlak, mengikuti alua jo patuik (alur dan kepatutan) menurut hukum-hukum alam, hukum agama, prinsip perikemanusiaan, atau menurut aturan tempat waktu, misalnya adat api membakar, adat air membasahi, adat ayam berkokok, adat murai berkicau, adat laut berombak (adaik api mambaka, adaik aie mambasahi,adaik ayam bakokok, adaik murai bakicau, adaik lauik baombak ). Sebab itu dikiaskan dengan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan (tidak meranggas karena panas, tidak lapuk karena hujan).

Adat nan Diadatkan Atau adat yang ditetapkan oleh dua orang arsitek adat Minangkabau: Datuk Perpatih nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan, yaitu sesuatu aturan hidup bersama yang didasarkan atas mufakat, dan mufakat ini harus pula didasarkan atas alur dan patut. Adat ini merupakan sesuatu yang dirancang dan dijalankan, serta diteruskan oleh nenek moyang yang mula-mula menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Adat nan Diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan, terutama segi kehidupan sosial, budaya dan hukum. Keseluruhannya tersimpul dalam Undang-Undang yang Dua puluh (Undang-Undang nan Duo Puluah)  dan Cupan yang Dua (Cupak nan Duo).

Adat Teradat, yaitu kebiasaan setempat yang dapat bertambah pada suatu tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan. Merupakan penyesuaian dengan keadaan sekeliling. Bila dibandingkan antara Adat nan Teradat dengan Adat nan Diadatkan, terlihat perbedaannya dari segi keumuman yang berlaku. Adat nan Diadatkan bersifat umum pemakaiannya pada seluruh negeri yang terlingkup dalam satu lingkaran adat di seluruh lingkungan Minangkabau. Jadi, Adat nan Teradat yang dipakai bisa saja berbeda-beda dari suatu nagari ke nagari yang lain.

Adat Istiadat yaitu kebiasaan dalam suatu nagari atau golongan yang berupa kesukaan dari sebagian masyarakat tersebut, seperti kesenian,olah raga, seni suara, seni lukis, dan bangunan-bangunan dan lain-lain.
         
Masyarakat Minangkabau mempunyai tradisi lisan yang sangat kuat. Oleh sebab itu, banyak sekali aturan-aturan atau pemikiran tentang adat maupun perpaduan adat dengan Islam yang belum ditulis dengan baik, sehingga bagi para generasi penerus Minangkabau yang harus menggunakan etika Minangkabau untuk kehidupan sehari-hari, jalur pemahaman di mulai dari lingkungan keluarga terkecil (ibu dan ayah), kemudian keluarga luas (extended  family) yang anggotanya antara lain Uwo dan inyiak/ungku(kakek dan nenek), mamak (saudara laki-laki ibu), etek atau mak tuo (saudara perempuan ibu), kemudian saudara-saudara ayah seperti pak etek  (adik laki-laki ayah), pak tuo (kakak laki-laki ayah), saudara perempuan ayah, sampai kepada Sumando ( suami saudara perempuan).
Unsur-unsur keluarga luas inilah yang akan memberikan pemahaman secara bertahap mulai sejak ia belajar berkomunikasi dengan orang lain. Bagi orang yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin kaum ( penghulu andiko) diberikan perlakuan khusus oleh pemimpin kaum yang masih menjabat, diajari bagaimana berkomunikasi menurut aturan adat, seperti penggunaan petatah petitih, mamangan, pantun atau kiasan-kiasan. Kemampuan berkomunikasi dalam Style adat sangat penting dikuasai seorang penghulu karena dalam masa tugasnya ia akan menghadapi banyak sekali even komunikasi seperti berunding menyelesaikan pertikaian, berunding untuk pernikahan, memberi petuah-petuah adat, dan sebagainya.
Sumber-sumber nilai etik memberikan landasan yang paling bawah, paling fundamental kepada aktivitas komunikasi manusia, terutama sekali dalam konteks budaya. Pada landsan itulah terdapat kerangka nilai, yang kelak digunakan untuk mengukur kepantasan atau kualitas komunikasi. Beragamnya budaya di dunia ini menyebabkan sumber-sumber itu juga sangat banyak ragamnya. Bagi orang Minangkabau, sumber-sumber tersebut tidak pernah dapat dilepaskan dari dua sistem nilai yang tertanam sejak lama, yaitu Islam dan adat. Namun sekarang, dengan terbukanya komunikasi di tingkat nasional maupun global, pergeseran mungkin mulai terjadi. Sebagian orang Minangkabau mungkin telah mengadopsi nilai-nilai dari sumber lain, seperti nilai-nilai yang datang dari Barat.
Komunikasi sudah merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas. Sepanjang mansia ingin hidup, ia perlu berkomunikasi ( Everett Kleinjan, 1986). Dalam ruang lingkup yang lebih terinci, komunikasi yang menggambarkan bagaimana seseorang menyampaikan sesuatu lewat bahasa atau simbol-simbol tertentu kepada orang lain (Hafied Cangara, 2008).
Tujuan lain komunikasi adalah untuk menjalin hubungan sosial(social relationship) antara pembicara dan lawan bicara. Faktor peran dan hubungan antara pembicara dan lawan bicara menjadi pertimbangan penting dalam proses komunikasi. Misalnya, komunikasi antara seorang bawahan pada atasan, seorang anak pada bapak, sesama teman akrab, semua ini menuntut strategi komunikasi yang berbeda. Jika seorang bawahan berbicara pada atasan, dia akan memilih ungkapan yang sesuai dengan peran dia dan atasanya. Bahkan pemilihan kata saja tidak cukup, seringkali ucapan seorang bawahan tersebut disertai dengan body language (bahasa tubuh) yang merepresentasikan penghormatan dia pada atasan (Syamsul Anam, 2001).
Semua pembicaraan haruslah yang baik, dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan: “Barangsiapa yang beriman pada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.” (HR Bukhari Muslim). Maka dalam berbicara dengan siapapun lawan berbicara kita, sebaiknya menggunakan pemilihan kata (diksi) yang baik dan sesuai dengan penempatannya.
Banyak kesalahan komunikasi (miscommunication) terjadi dalam masyarakat karena tidak memahami simbol-simbol lokal (Hafied Cangara, 2008). Seperti di Minang yang kerap menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang tertentu guna mengungkapkan pesan yang tersirat didalamnya. Salah satu acuan yang dapat kita pedomani adalah adab berbicara di Minang Kabau Sumatera Barat yang dikenal dengan “Kato nan Ampek” yaitu adab berbicara dibedakan atas empat (ampek) jenis audience atau lawan komunikasi kita (Riny Yunita, 2008).

Kato nan ampek merupakan aturan tuturan dalam bahasa Minangkabau yang penggunaannya tergantung kepada hubungan sosial yang terjadi antara penutur dengan mitra tutur dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kato nan ampek tersebut dipengaruhi oleh norma-norma kesopanan yang terdiri atas kato mandaki, kato manurun, kato malereang dan kato mandata.
Kato mandaki adalah kata yang digunakan oleh orang yang berusia lebih muda yang ditujukan kepada orang yang berusia lebih tua dari penutur. Kata mendaki ini biasanya digunakan oleh seorang anak kepada orang tua, kemenakan kepada mamak, adik kepada kakak, murid kepada guru dan lain-lain.

Kato Manurun adalah kata yang disampaikan oleh orang yang berusia lebih tua kepada orang yang berusia lebih muda, seperti dari orang tua kepada anak, mamak kepada kamanakan, guru kepada murid dan lain-lain. Walaupun usia lawan tutur lebih muda dari penutur, ketika dalam pembicaraan orang yang berusia lebih tua harus tetap memperhatikan kesopanan bahasanya agar lawan tuturnya tetap merasa dihargai dalam pembicaraan tersebut.

Kato malereang digunakan untuk orang yang disegani seperti mamak rumah kepada sumando, mertua kepada menantu. Dalam menyampaikan kata malereang ini dituntut untuk menggunakan kiasan dalam menjaga kesopanan berbahasa kepada mitra tutur.

Kato mandata digunakan untuk teman sebaya. Dalam proses penyampaian kato mandata bisa lebih bebas, karena penutur dan mitra tutur berada dalam tingkat usia yang sama.




PENUTUP

Pengimplementasi adat dan budaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Adat dan budaya
tidak akan lestari jika masyarakat tidak sadar akan nilai-nilai yang dianut adat tersebut, termasuk pula adat minangkabau. Namun, masuknya kebudayaan dari luar mempengaruhi tatanan kebudayaan minnagkabau. Masuknya budaya luar membentuk suatu image yaitu modernitas. Dalam mengidentifikasi manusia modern perlu adanya patokan.  Untuk menjadi manusia modern perlu adanya usaha agar dapat mendekati pengertian modern. Apakah itu berbentuk pola pikir, perilaku, termasuk tatanan berbicara agar dianggap tidak kuno dan jadul dan lain-lainnya. Untuk itu, manusia harus beradaptasi dan menyeseuaikan diri dengan kondisi modern agar dikatakan manusia modern.  Modernitas tidak berarti semua yang ada dalam adat dan kebudayaan minang harus dimodernkan.

Maraknya pergaulan di era globalisasi yang mementingkan modernitas, menyebabkan semakin lengahnya pandangan remaja akan budaya minang dan perlahan telah menyingkirkan adat dan kebudayaan minang. Tidak lagi tau akan norma dan aturan adat sendiri membuat membuat bergesernya keteraturan tatanan adat dan kebudayaan minangkabau. Seiring berkembangnya zaman, budaya tidak lagi menjadi landasan  dalam kehidupan. Terutama muda-mudi minang yang secara perlahan telah menghapus kebudayaan sendiri.

Tiap komulatif waktu tertentu, terjadi perubahan-perubahan situasi yang mempengaruhi budaya. Untuk mempertahankan nilai budaya, perlu pendoktrinan kesadaran budaya. Remaja yang seharusnya berperan aktif dalam pemberdayaan adat dan kebudayaan Minang, berpaling menjadi remaja yang menhancurkan adat dan kebudayaannya sendiri. Maraknya pergaulan pada era globalisasi telah merubah banyak pihak dan kebudayaan masyarakat minang. Salah satunya tatakrama berbicara remaja minang.

Aturan berbicara yang dipedomani kato nan ampek (kato mandaki, kato manurun, kato malereang dan kato mandata) sudah tidak diindahakan lagi. Kata-kata dan mamangan adat tak dijadikan landasan dalam berbicara. Banyaknya remaja minang yang tidak tau dengan aturan norma minang menagkibatkan pelencenagn perilaku-perilaku remaja zaman sekarang. Walaupun tidak keseluruhan, persentase terbesar menyatakan bahwa lebih banyak remaja minang yang tidak tau akan adat dan budayanya sendiri. Lengahnya pandangan remaja akan adat dan kebudayaan minang dalam bernicara, membawa dampak pada tergerusnya kekentalan buadaya kato nan ampek pada remaja minang oleh arus globalisasi.






DAFTAR PUSTAKA
Chatra, Emeraldy. Filsafat Komunikasi Minangkabau. Dalam http://id.scribd.com/doc/67598237/Filsafat-Komunikasi-Minangkabau
Palantaminang, Nilai Dasar Adat Minangkabau. Dalam http://palantaminang.word- press.com/sejarah-alam-minangkabau/j-nilai-dasar-adat-minangkabau/
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007.
Anam, Syamsul. 2001. “Sopan santun berbahasa atau sekedar berbasa-basi”. Jurnal ilmu bahasa dan sastra.
http://hajrulaf.blogspot.com/
Cangara, Hafied. 2008. “Pengantar ilmu komunikasi”. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
http://www.kabarindonesia.com, Minggu, 12 Juli 2009, diakses Kamis, 21 Oktober 2010. “Realita kato nan ampek di minangkabau”.
Revita, Ike. 2013. Pragmatik – Kajian Tindak Tutur Permintaan Lintas Bahasa. Padang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.

Baca Selengkapnya...