ANALISIS
PENGALOKASIAN FREKUENSI TEKNOLOGILONG TERM EVOLUTION (LTE) DI INDONESIA
Muhamad
Akbar Helsis
Jurusan
Teknik Elektro
Universitas
Gunadarma
ABSTRAK
Teknologi LTE merupakan teknologi 4G evolusi dari
GSM dengan data rate mencapai
100 Mbps. Operator seluler mempunyai kesempatan untuk menggunakan teknologi
tersebut melalui refarming frekuensi.
Alokasi yang sesuai saat ini yaitu pada frekuensi 1800 MHz dan 2100 MHz.
Sebelum menerapkan teknologi LTE, perlu dilakukan perencanaan baik coverage planning maupun capacity planning untuk menghitung
jumlah eNodeB . Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran site yang
diperlukan untuk penerapan teknologi. Metode penelitian menggunakan pendekatan
data kuantitatif yaitu menghitung jumlah site yang dibutuhkan untuk menggelar
jaringan LTE. Perhitungan jumlah site tersebut meliputi coverage planning dan capacity
dimensioning.Menghitung propagation loss
menggunakan model cost-231 Walfish-Ikegami, dimana model ini cocok untuk daerah
urban dan memperhitungkan banyak aspek penghalang. Nilai Received Signal Level
(RSL) yang dihasilkan akan dibandingkan dengan nilai receiver sensitivity
(treshold). Penentuan frekuensi kerja didasarkan pada
propagation loss yang minimum. RSL yang memenuhi kondisi threshold, dan
memiliki coverage area yang lebih luas serta tersedia tempat yang cukup poda
pengaturan frekuensi menurut badan regulasi.
I.PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Jumlah pengguna internet
di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari APJII, data
pengguna internet pada tahun 2006 mencapai 16 juta jiwa, dan meningkat dari
tahun ke tahun, sehingga pada tahun 2012 mencapai 60 juta jiwa. APJII
memproyeksikan pengguna internet tahun 2015 mencapai 139 juta.
Peningkatan jumlah pengguna internet ini tidak
terlepas dari adanya teknologi 3G yang memberikan kemudahan bagi pengguna
internet untuk mengakses data secara mobile.
Peningkatan jumlah pelanggan akan memberikan pengaruh pada kualitas data yang
akan diterima. Semakin banyak pengguna yang mengakses data, maka kualitas akan
semakin menurun karena prinsipnya adalah sharing
bandwidth. Agar kualitas layanan yang diterima masih terjaga, operator
perlu menambah bandwdith atau menambah jumlah base transceiver station.
Jumlah base transceiver station (BTS) di
Indonesia meningkat sebesar 63,28% untuk BTS 3G dan sebesar 36,31% untuk BTS 2G
dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012(Kementerian Kominfo, 2013).
Peningkatan ini tidak terlepas dari meningkatnya pelanggan seluler GSM maupun
3G (WCDMA/HSDPA).
Peluang untuk membangun teknologi
LTE yaitu di frekuensi 700 MHz, 1800 MHz dan 2100 MHz. Namun penggunaan frekuensi
700 MHz masih lama diterpakan karena menunggu migrasi dari TV analog ke TV
digital. Untuk menghadapi persaingan usaha, operator seluler harus berfikir
cepat untuk melakukan strategi penggunaan frekuensi yang bisa digunakan untuk
teknologi LTE.
Penerapan teknologi LTE membutuhkan
biaya yang tidak sedikit dalam pembangunan infrastrukturnya. Operator harus
melakukan perencanaan jumlah site yang dibutuhkan untuk bisa menjangkau
pelanggan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran berapa banyak site
yang dibutuhkan untuk penerapan teknologi LTE pada frekuensi 1800 MHz dan 2100
MHz sehingga bisa menjadi pertimbangan oleh operator dalam menentukan pilihan
untuk menggunakan frekuensi mana yang lebih efisien.
II. LANDASAN TEORI
Teknologi Long Term Evolution (LTE)
merupakan teknolgi generasi ke empat (4G), evolusi dari teknologi Global
System for Mobile Communications (GSM) dengan peak data rate sebesar
150 Mbps untuk downlink pada release 8. Kecepatan data tersebut
ketika menggunakan bandwidth sebesar 20 MHz dan konfigurasi antena MIMO
2x2(Toskala, 2012).
Standard LTE-Advanced
ITU-R menentukan persyaratan untuk IMT-Advancedsebagai
berikut:
Peak data
rate untuk mobilitas tinggi mencapai 100Mbps dan untukmobilitas rendah
mencapai 1 Gbps;
Mengijnkan inter-working
terhadap sistem radio akseslainnya;
Memungkikan
kualitas yang tinggi untuk layananmobile;
Kemampuan worldwide roaming;
Cell spectral
efficency di area indoor sebesar 3bits/Hz/cell untuk downlink, dan
0.7 bits/Hz/cell untukhigh speed uplink;
Peak spectral
efficiency mencapai 15 bits/s/Hz;
Skalabilitas bandwidth
mencapai 40 MHz dandipertimbangkan mencapai 100 MHz;
Spectral eficiency pelanggan
pada pinggiran selberkisar dari 0.015 bps/Hz sampai 0.1 bps/Hz;
Persyaratan latency
pada waktu transisi anatar idle dan aktif sebesar 100 ms, pada
kondisi unloaded;
Mendukung mobilitas
mencapai 350 Km/jam;
Kapasitas
VoIP mencapai 30 – 50 user per sektor/MHz;
4G merupakan pengembangan
dari teknologi 3G. Nama resmi dari teknologi 4G ini menurut IEEE (Institute
of Electrical and Electronics Engineers) adalah ’3G and beyond’.
Sebelum 4G, High-Speed Downlink Packet Access (HSDPA) yang kadangkala
disebut sebagai teknologi 3,5G telah dikembangkan oleh WCDMA sama seperti EV-DO
mengembangkan CDMA2000. HSDPA adalah sebuah protokol telepon genggam yang
memberikan jalur evolusi untuk jaringan Universal Mobile Telecommunications
System (UMTS) yang akan dapat memberikan kapasitas data yang lebih besar
(sampai 14,4 Mbit/detik arah turun).
Sistem 4G akan dapat
menyediakan solusi IP yang komprehensif dimana suara, data, dan arus multimedia
dapat sampai kepada pengguna kapan saja dan dimana saja, pada rata-rata data
lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Belum ada definisi formal untuk 4G.
Bagaimanapun, terdapat beberapa pendapat yang ditujukan untuk 4G, yakni: 4G
akan merupakan sistem berbasis IP terintegrasi penuh.
Mobile WiMax disebut juga
WiMax revisi E, yang standardnya dibuat oleh IEEE, menggunakan teknologi OFDM
dan teknologi antenna. Mobile WiMax ini nantinya akan menjadi semacam personal
broadband atau DSL on the move. Untuk teknologi ini, layanan yang dapat
dinikmati adalah Broadband mobile data yang juga non-mobile operator.
Beberapa content yang akan meramaikan WiMax kedepannya adalah VoIP, Game,
Audio/Video Live.
Penelitian ini melakukan
proses perencanaan jaringan radio melalui beberapa tahap yaitu site survey,
perencanaan frekuensi yang digunakan, link budget dan coverage
planning dan capacity planning. Lokasi objek penelitian di kota
Tripoly. Daerah dibagi menjadi tiga area yaitu dense urban, urban dan sub
urban. Frekuensi yang digunakan yaitu 1800 MHz dengan bandwidth 20 MHz
Teknologi yang digunakan yaitu LTE FDD, menggunakan soft frekuensi reuse (SFR
1*3*1), dan diasumsikan cyclic prefix normal(El-Feghi, Zakaria Sulima
Zubi, A Jamil, 2014).
Berdasarkan hasil perhitungan link
budget, kebutuhan site untuk daerah dense urban sebanyak 144 site, urban
sebanyak 283 site dan sub urban sebnayk 86 site.Berdasarkan hasil perhitungan capacity
planning, jumlah site yang diperlukan untuk daerah dense urban sebanyak 215
site, urban sebanyak 129 site dan sub urban sebanyak 86 site. Maka site yang
diperlukan untuk membangun teknologi LTE di kota Tripoly adalah 215 site untuk
daerah dense urban, 283 untuk urban dan 86 untuk suburban.Dalam penelitian
tersebut juga mengukur performasi moda propagasi LTE FDD untuk arah uplink maupun
downlink dengan membandingkan modulasi QPSK, 16QAM dan 64QAM.
Berdasarkan hasil simulasi diperoleh kesimpulan bahwa BER vs SNR dan BLER vs
SNR berbeda-beda tergantung pada beberapa parameter seperti skema modulasi,
code rate dan konfigurasi aantena. Performansi akan meningkat seiring dengan
penambahan jumlah antena di penerima (diversity antenna). Jumlah antena
pengirim tidak mempengaruhi nilai BER atau BLER. Hasil simulasi BER dan BLER
TDD dan FDD menunjukkan performansi yang sama pada antena konfigurasi yang
sama. Diversitas antena penerima mempengaruhi SNR. Konfigurasi antena SIMO
(1x2) meningkatkan SNR sebesar 3 dB, sedangkan MIMO (2x2) meningkatkan SNR
sebesar 4 dB.
III.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Arsitektur LTE diadopsi
dari prinsip flat arsitektur, jika dibandingkan dengan aristektur release 6
HSPA, arsitektur LTE release 8 pada sisi radio dan core ditangani
oleh satu elemen, seperti yang ditunjukkan pada gambar 7. Tujuannya adalah
menjamin kemudahan skalabilitas untuk menghindari upgrade kapasitas
beberapa tingkat ketika trafik naik.
Kelebihan
teknologi LTE 4G
LTE adalah sebuah standar
komunikasi akses data nirkabel tingkat tinggi yang berbasis pada jaringan
GSM/EDGE dan UMTS/HSPA. Jaringan antarmuka-nya tidak cocok dengan jaringan 2G
dan 3G, sehingga harus dioperasikan melalui spektrum nirkabel yang terpisah.
LTE 4G juga diyakini mampu meningkatkan utililisasi teknologi yang telah ada
sehingga dapat menekan biaya yang dibutuhkan untuk penerapannya.
Perubahan siginifikan
dibandingkan standar sebelumnya meliputi 3 hal utama, yaitu air interface,
jaringan radio serta jaringan core. Di masa mendatang, pengguna dijanjikan akan
dapat melakukan download dan upload video high definition dan konten-konten media
lainnya, mengakses e-mail dengan attachment besar serta bergabung dalam video
conference dimanapun dan kapanpun.
LTE juga secara dramatis
menambah kemampuan jaringan untuk mengoperasikan fitur Multimedia Broadcast
Multicast Service (MBMS), bagian dari 3GPP Release 6, dimana kemampuan yang
ditawarkan dapat sebanding dengan DVB-H dan WiMAX .LTE dapat beroperasi pada
salah satu pita spektrum seluler yang telah dialokasikan
yang termasuk dalam standar
IMT-2000 (450, 850, 900, 1800, 1900, 2100 MHz) maupun pada pita spektrum yang
baru seperti 700 MHz dan 2,5 GHz.
Beberapa kelebihannya
lainnya dari LTE 4G ialah ;
a. Tingkat download
sampai dengan 299.6 Mbis/s dan tingkat upload gingga 75.5 Mbis/s tergantung
pada katrgori perangkat yang digunakan.
b. Peningkatan dukungan
untuk mobilitas, sebagai contoh dukungan untuk terminal bergerak hingga
350km/jam atau 500 km/jam tergantung pita frekuensi
c. Dukungan untuk semua
gelombang frekuensi yang saat ini digunakan oleh sistem IMT dan ITU-R
d. Di daerah kota dan perkotaan,
frekuensi band yang lebih tinggi (seperti 2.6 GHz di Uni Eropa) digunakan untuk
mendukung kecepatan tinggi mobile broadband.
e.
Dukungan untuk MBSFN (Multicast Broadcast Single Frequency Network).
Fitur ini dapat memberikan layanan seperti Mobile TV menggunakan infrastruktur
LTE, dan merupakan pesaing untuk layanan DVB-H berbasis siaran TV.
Faktor
Utama yang menyebabkan layanan LTE 4G belum ada di Indonesia
Dari kedua faktor
penyebab belum adanya layanan LTE 4G di Indonesia saat ini yang menjadi faktor
utama ialah dari masalah regulasi di Indonesia sendiri yang belum mengatur
masalah ini. Terutama regulasi tentang frekuensi yang dapat digunakan. Menurut
Joko Suryana salah satu pakar Telekomunikasi dalam salah satu artikel media
cetak mengatakan beberapa pita frekuensi yang biasa digunakan oleh operator LTE
di dunia yaitu 700/800 MHz, 1800 MHz, 2100 MHz dan 2600 MHz.
Permasalahannya di Indonesia
tambahnya, frekuensi – frekuensi yang telah disebutkan diatas seluruhnya sudah
digunakan bai oleh operator selular maupun perurasahaan penyiaran
(Broadcasting) sehingga saat ini tidak ada lagi alokasi frekuensi yang kosong
atau tersedia untuk LTE.
Kemudian menurut Herfini
Haryono, Direktur perencanaan dan pengembangan Telkomsel pada saat itu masih
dalam suatu artikel media cetak menegaskan tinggal menunggu regulasi saja, jika
sudah mendapat izin maka akan bisa segera diimplementasikan,”. Untuk mendukung
broadband termasuk implementasi LTE, Telkomsel menambah investasi yang sebesar
50 persen capek (capital expenditure) dialokasikan untuk jaringan 3G tambahnya.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a. Ada
beberapa kelebihan teknologi LTE 4G yang sangat berbeda dengan teknologi
sebelumnya, antara lain:
Tingkat download
sampai dengan 299.6 Mbis/s dan tingkat upload gingga 75.5 Mbis/s tergantung
pada katrgori perangkat yang digunakan.
Peningkatan dukungan
untuk mobilitas, sebagai contoh dukungan untuk terminal bergerak hingga
350km/jam atau 500 km/jam tergantung pita frekuensi
Dukungan untuk semua
gelombang frekuensi yang saat ini digunakan oleh sistem IMT dan ITU-R
Di
daerah kota dan perkotaan, frekuensi band yang lebih tinggi (seperti 2.6 GHz di
Uni Eropa)
digunakan
untuk mendukung kecepatan tinggi mobile broadband.
b. Salah satu yang
menjadi penyebab kenapa layanan teknologi LTE 4G blom bisa dinikmati oleh
masyarakat Indonesia, itu dikarenakan aspek regulasi. Karena regulasi memegang
peranan yang paling penting dalam bisnis telekomunikasi. Ada banyak aspek
regulasi yang mempengaruhi pertumbuhan bisnis telekomunikasi bergerak pita
lebar seperti ketersedian spektrum frekuensi, tarif, interkoneksi, konten, dan
penomoran. Selain itu dari aspek Hardwere serta Software pendukung, itu
dikarenakan modem untuk 4G masih sangat terbatas dan infrastruktur yang
mendukung 4G belum merata di seluruh Indonesia.
Saran
Dari hasil Analisis yang
dilakukan mengenai Analisis Penerapan Teknologi Jaringan LTE 4G di Indonesia,
maka sebaiknya pemerintah segera mengatur regulasi tentang penetapan jaringan
teknologi LTE 4G, agar dapat di implementasikan secepatnya di Indonesia, dan
masyarakat Indonesia pun dapat merasakannya, terutama bagi yang telah memiliki gadget
berbasis 4G.
DAFTAR
PUSTAKA
Fadhli Fauzi, Gevin Sepria Harly,
Hanrais HS , Analisis Penerapan Teknologi Jaringan LTE 4G Di Indonesia
http://www.teknokers.com/2011/12/tau
kah-kamu-apa-itu-4g-lte-ini-dia.html (Diakses pada tanggal 1 Juni 2012)
http://www.teknoup.com/mobile/forum/topic/1289/tentang-teknologi-lte-long-term-evolution/
(Diakses pada tanggal 29 mei 2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/LTE#LTE_di_Indonesia
(Diakses pada tanggal 29 mei 2012)
http://www.teknokers.com/2012/03/kenapa-di-indonesia-tidak-ada-4g-ini.html
(Diakses pada tanggal 29 mei 2012)
http://www.inilah.com/read/detail/1226592/kendala-teknologi-4g-di-indonesia
(Diakses pada tanggal 1 Juni 2012)
http://mrbambang.wordpress.com/2011/08/19/belajar-dari-china-menyongsong-lte-di-indonesia/
(Diakses pada tanggal 30 mei 2012)
http://ilmukomputer.org/wp-content/uploads/2007/07/anjars-teknologi-3g.pdf,
“sekilas tentang teknologi 3G”. (Diakses pada tanggal 29 mei 2012)
Toskala, H. H. and A.
(2012). LTE Advanced: 3GPP Solution for IMT Advanced. John Wiley &
Sons.
El-Feghi, Zakaria Sulima Zubi, A
Jamil, H. A. (2014). Long Term Evolution Network Planning and Performance
Measurement, 171–177.
Floatway Learning Center. (2014).
Training Material 4G RF Planning.
Imtiaz, N., & Hamid,
B. (2012). Nominal and Detailed LTE Radio Network Planning considering Future
Deployment in Dhaka City, 50(17), 37–44.
Molisch, A. F. (2011). 7
. 6 . 1 Appendix 7 . A : The Okumura – Hata Model. In Wireleless
Communications, Second Edition.