Benteng Fort de Kock (Fortress Fort de Kock)
Fortress Fort de Kock is the legacy of the colonial Dutch fort that stood on the Mount Jirek in Bukittinggi, West Sumatra, which was built in 1825oleh Captain Bauer and used as a stronghold of the Dutch in the face of Padri War led by the Tuanku Imam Bonjol.
Benteng Fort de Kock merupakan benteng peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang berdiri di atas Bukit Jirek di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, yang dibangun pada tahun 1825oleh Kapten Bauer dan digunakan sebagai kubu pertahanan Belanda dalam menghadapi Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
The fort was originally named Fort de Kock is Sterrenschans, but later changed to Fort de Kock after the name of Baron Hendrick Merkus de Kock, who was then serving as Commander de Roepoen and Deputy Governor General of Netherlands Indies Government.
The entrance to Fort de Kock, who is also an old name of Bukittinggi, is through Jl. Yos Sudarso, with the entrance located at GPS: -0.301370, 100.367880, with ample parking under shady trees. After paying fees of Rp 5,000 (Rp. 8000 holiday),
Semula Benteng Fort de Kock ini dinamai Sterrenschans, namun kemudian diubah menjadi Fort de Kock mengikuti nama Baron Hendrick Merkus de Kock, yang saat itu menjabat sebagai Komandan de Roepoen dan Wakil Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Jalan masuk ke Benteng Fort de Kock, yang juga merupakan nama lama Kota Bukittinggi, adalah melalui Jl. Yos Sudarso, dengan pintu masuk berada di GPS: -0.301370, 100.367880, dengan tempat parkir yang cukup luas di bawah naungan pepohonan yang rindang. Setelah membayar retribusi sebesar Rp 5.000 (hari libur Rp 8.000),
Fortress Fort de Kock is also well able to enter the Wildlife Park Cultural Kinantan, free of charge anymore. If you want to exercise this morning in the area, visitors only need to pay Rp 500 only. For commercial photo shoot in this area will be charged Rp 75.000/hours, and video capture Rp 100.000/hours.
Benteng Fort de Kock juga sekaligus bisa masuk ke Taman Margasatwa Budaya Kinantan, tanpa dipungut bayaran lagi. Jika ingin berolahraga pagi di area ini, pengunjung cukup membayar Rp.500 saja. Untuk pengambilan foto komersial di dalam area ini dikenakan biaya Rp 75.000/jam, dan pengambilan video Rp 100.000/jam.
Fortress Fort de Kock, in the form of a 20 m high building whitewashed equipped with cannons at the four corners. Gated iron staircase railings seemed encircled Fort de Kock leading to the peak.
Benteng Fort de Kock, berupa sebuah bangunan setinggi 20 m bercat putih yang dilengkapi dengan meriam di keempat sudutnya. Tangga berpagar teralis besi tampak melingkari Benteng Fort de Kock menuju ke puncaknya.
Istana Bung Hatta Bukittinggi (Bung Hatta Palace of Bukittinggi)
Palace of Bung Hatta was directly across from the Clock Tower Bukittinggi park with lush green courtyard decorated with palm trees and pines. Bung Hatta Palace around the low wall latticed fenced, with gates open.
Istana Bung Hatta berada tepat di seberang taman Jam Gadang Bukittinggi dengan halaman luas hijau asri yang dihiasi pohon palm dan cemara. Di sekeliling Istana Bung Hatta dipagari tembok rendah berkisi, dengan pintu gerbang yang terbuka.
Bung Hatta Palace of the building occupies the former residence of the Dutch Assistant Resident in London, which by Bung Hatta were then used as a place of residence and the Vice President. The building was previously named the house "Customers Supreme", then House Tri Arga, Wisma Hatta, before eventually renamed the Bung Hatta Palace.
Istana Bung Hatta ini menempati bangunan bekas kediaman Asisten Residen Belanda di Bukittinggi, yang oleh Bung Hatta kemudian digunakannya sebagai tempat kediaman dan Istana Wakil Presiden RI. Bangunan ini sebelumnya bernama rumah “Tamu Agung”, lalu Gedung Tri Arga, Wisma Hatta, sebelum akhirnya berganti nama menjadi Istana Bung Hatta.
From the Palace of Bung Hatta Hatta Bukittinggi is leading the struggle for independence in West Sumatra in particular, held meetings with local leaders and make the political decisions needed to further streamline the struggle for independence and the wheels of government. Bung Hatta, Bukittinggi palace now used as a lodging place for the President, the Vice President as well as State Guests who visit West Sumatra, and is also used as a Versatile Building State.
Dari Istana Bung Hatta Bukittinggi inilah Bung Hatta memimpin perjuangan kemerdekaan di wilayah Sumatera Barat khususnya, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin setempat dan membuat keputusan-keputusan politik yang dibutuhkan untuk lebih mengefektifkan perjuangan kemerdekaan dan roda pemerintahan. Istana Bung Hatta Bukittinggi kini digunakan sebagai tempat penginapan bagi Presiden, Wakil Presiden serta Tamu Negara yang berkunjung ke Sumatera Barat, dan juga digunakan sebagai Gedung Serba Guna Negara.
Jam Gadang
Jam Gadang is a landmark of Bukittinggi Bukittinggi, West Sumatra, the most prominent, besides of course the natural landmarks of the famous Sianok beautiful canyon. Location Bukittinggiterletak Jam Gadang in the heart of Bukittinggi, in a side corner of the park is quite large bustling city crowded with visitors and vendors when night has fallen.
Jam Gadang Bukittinggi merupakan tengara Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, yang paling menonjol, selain tentu saja tengara alam Ngarai Sianok yang terkenal indah. Lokasi Jam Gadang Bukittinggiterletak di jantung Kota Bukittinggi, di sebuah sisi sudut taman kota cukup luas yang ramai dipadati pengunjung dan pedagang kaki lima ketika malam telah jatuh.
Clock Tower Bukittinggi as high as 26 m was first built in 1926with a design created by Yazid Sutan Dental Ameh. This largeclock was a gift from the Queen of the Netherlands to Controleur(City Secretary) Rook Maker. Laying the first stone of the Clock Tower, United Kingdom conducted by Rook Maker's son who was6 years old.
Jam Gadang Bukittinggi setinggi 26 m ini pertama kali dibangun pada 1926 dengan rancangan yang dibuat oleh Yazid Sutan Gigi Ameh. Jam besar ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota) Rook Maker. Peletakan batu pertama Jam Gadang Bukittinggi dilakukan oleh putera Rook Maker yang ketika itu masih berusia 6 tahun.
Basic building Jam Gadang Bukittinggi is sized 13 x 4 m, and it takes a fee of 3000 guilders to complete construction at the time.When made, until the Japanese came in, the peak shape of the Jam Gadang is not a traditional Minangkabau house, but a statue of a rooster with a rounded top.
Bangunan dasar Jam Gadang Bukittinggi ini berukuran 13 x 4 m, dan dibutuhkan biaya sebesar 3000 Gulden untuk menyelesaikan pembangunannya saat itu. Ketika dibuat, sampai Jepang masuk, puncak Jam Gadang bukanlah berbentuk rumah adat Minangkabau, namun sebuah patung ayam jantan dengan puncak berbentuk bulat.
Minangkabau traditional house at the top of the Jam Gadang Bukittinggi is newly installed after the time of independence.When Japan's ruling, the top of the Jam Gadang is in the form of a temple.
Rumah Adat Minangkabau di puncak Jam Gadang Bukittinggi ini baru dipasang setelah jaman kemerdekaan. Ketika Jepang berkuasa, puncak Jam Gadang ini berbentuk sebuah kelenteng.
Jam Gadang Bukittinggi is engaged in mechanical and consists of four clock faces are facing the four compass directions with a diameter of 80 cm each. The uniqueness of the Jam Gadang Bukittinggi is at number Romanic IV at the written IIII.
Jam Gadang Bukittinggi ini bergerak secara mekanik dan terdiri dari empat buah muka jam yang menghadap ke empat arah penjuru mata angin dengan diameter masing-masing 80 cm. Keunikan Jam Gadang Bukittinggi ini ada di angka Rumawi IV pada jam yang ditulis IIII.
Jam Gadang Bukittinggi has been defined as the zero point of Bukittinggi. When we were there late last year, has just completed renovation work carried out by the Heritage Preservation Board Indonesia (ARDI), with the support of the Government of Bukittinggi and the Royal Netherlands Embassy in Jakarta. Opening was conducted on the anniversary of Bukittinggi to 262, on December 22, 2010.
Jam Gadang Bukittinggi telah ditetapkan sebagai titik nol Kota Bukittinggi. Ketika kami berada di sana akhir tahun lalu, pekerjaan renovasi baru saja selesai dilakukan oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), dengan dukungan Pemerintah Kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Peresmiannya sendiri dilakukan pada saat ulang tahun Kota Bukittinggi ke 262, pada 22 Desember 2010.
Jembatan Limpapeh (Bridge Limpapeh)
Limpapeh Bridge is a suspension bridge crossing over Jl.Ahmad Yani, Bukittinggi, a region connecting Fort de Kock and Parks Wildlife and Cultural Kinantan. Limpapeh bridge made 16 years ago is supported by the adjoining concrete-roofed building typical gonjong Minangkabau, and by four steel cables where bergelantungnya steel wires that hold the bridge.
Jembatan Limpapeh merupakan sebuah jembatan gantung yang melintas di atas Jl. Ahmad Yani, Bukittinggi, yang menghubungkan kawasan Benteng Fort de Kock dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Jembatan Limpapeh yang dibuat 16 tahun lalu ini ditopang ditengahnya oleh bangunan beton beratap gonjong khas Minangkabau, serta oleh empat kabel baja tempat bergelantungnya kawat-kawat baja yang memegang jembatan.
Gonjong roofed concrete building in the middle of the bridge Limpapeh penetrated by Jl. Ahmad Yani. On the left is the area of Fort de Kock, and on his right is the Wildlife Park and Cultural Kinantan. Visitors can enter from either the left or right Limpapeh Bridge, with only one paying.
Bangunan beton beratap gonjong di tengah Jembatan Limpapeh yang ditembus oleh Jl. Ahmad Yani. Di sebelah kiri adalah area Benteng Fort de Kock, dan di sebelah kanannya adalah kawasan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Pengunjung bisa masuk baik dari kiri maupun kanan Jembatan Limpapeh, dengan hanya sekali membayar.
Limpapeh which has a stretch of bridge 90 meters long and 3.8 meters wide, with steel wires holding the bridge rod, as well as aluminum plates on the surface of the bridge that still looks new and neat. Walking through Limpapeh Bridge is very convenient with less vibration and a nice swing.
Bentangan Jembatan Limpapeh yang memiliki panjang 90 meter dan lebar 3,8 meter, dengan kawat-kawat baja yang memegangi batang jembatan, serta pelat-pelat alumunium pada permukaan jembatan yang masih terlihat baru dan rapi. Berjalan melewati Jembatan Limpapeh ini sangat nyaman dengan sedikit getaran dan ayunan yang menyenangkan.
Lobang Jepang (Japanese Hole)
Japan which has a hole lip height of 3 meters and 2 meters wide, located a few meters below the surface of the hill, with doors made of iron.
Bibir Lobang Jepang yang memiliki tinggi 3 meter dan lebar 2 meter, berada beberapa meter di bawah permukaan bukit, dengan daun pintu yang terbuat dari besi.
Unlike the Japanese Cave Forest Park Ir H Juanda Bandung, flat, Japanese in London this hole into the bottom, pierced belly of the earth, which is essentially reached by climbing 132 steps.Lighting and air circulation inside the cave is quite good, so it is easier for the visitors.
Berbeda dengan Gua Jepang di Taman Hutan Raya Ir H Juanda Bandung yang mendatar, Lobang Jepang di Bukittinggi ini masuk ke bawah, menusuk perut bumi, yang dasarnya dicapai dengan meniti 132 anak tangga. Penerangan dan sirkulasi udara di dalam gua cukup baik, sehingga sangat memudahkan bagi para pengunjung.
Japanese hole-making is done on the instructions of the 25th Division Commander Army Lt. Gen. Moritake Tanabe Japanese army, which is ordered to make holes that can withstand vibration protection bomb as powerful as 500 kg, and is equipped with rooms for the purposes of Division Headquarters and the Army 25. Therefore, this Japanese hole, whose construction began work in March 1944 and completed in early June 1944, made with depths reaching 40 feet below ground surface.
Pembuatan Lobang Jepang ini dilakukan atas instruksi Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang Letjen Moritake Tanabe, yang memerintahkan untuk membuat lubang perlindungan yang mampu menahan getaran letusan bom sekuat 500 kg, dan dilengkapi dengan ruangan-ruangan bagi keperluan Markas Besar dan Divisi ke-25 Angkatan Darat. Oleh karena itu Lobang Jepang ini, yang konstruksinya mulai dikerjakan pada Maret 1944 dan selesai awal Juni 1944, dibuat dengan kedalaman mencapai 40 meter di bawah permukaan tanah.
Panorama dan Ngarai Sianok (Panorama and Canyon Sianok)
Panorama Park is located in the town of Bukittinggi allow tourists to see the beautiful scenery Sianok canyon. Inside the park there is also a cave Panorama former Japanese soldier hiding during World War II is referred to as Japan, United Kingdom Hole
Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut sebagai Lubang Jepang Bukittinggi
Sianok canyon is a high cliff ravine and valley width of the flat elongated, a beautiful and natural wonders to be seen by pedestrians when visiting Bukittinggi, West Sumatra. The beauty Sianok canyon can be seen and enjoyed, either from Panorama Park as well as from several other places around Bukittinggi and Koto Gadang.
Ngarai Sianok adalah sebuah tebing jurang yang tinggi dan lembah lebar yang datar memanjang, sebuah keajaiban alam yang indah dan harus dilihat oleh para pejalan ketika berkunjung ke Bukittinggi,Sumatera Barat. Keindahan Ngarai Sianok dapat dilihat dan dinikmati, baik dari Taman Panorama maupun dari beberapa tempat lain di sekitar Bukittinggi dan Koto Gadang.
Sianok beautiful canyon scenery viewed from the observation deck of the Panorama Park. A narrow slit in the canyon valley Sianok which reaches 200 meters wide has become an interesting sight.
Pemandangan Ngarai Sianok yang indah dilihat dari dek pengamatan Taman Panorama. Sebuah celah sempit di lembah Ngarai Sianok yang lebarnya mencapai 200 meter ini menjadi pemandangan yang menarik.
Sianok canyon reaches a height of 100 meters to the valley 15 miles long, stretching from the Koto Gadang in the South until the Sianok Six Tribes in the North. About twenty years ago I walked down from Koto Gadang, which is famous for silver and the cradle of several famous personalities such as KH Agus Salim, towards the valley floor by climbing the canyon Sianok saribu bunch that ended in Bukittinggi.
Ketinggian Ngarai Sianok mencapai 100 meter dengan panjang lembah 15 km, membujur dari Koto Gadang di Selatan sampai di Sianok Enam Suku di Utara. Sekitar dua puluh tahun lalu saya berjalan kaki turun dari Koto Gadang, yang terkenal dengan kerajinan perak dan tempat lahir beberapa tokoh terkenal seperti KH Agus Salim, menuju dasar lembah Ngarai Sianok dengan meniti janjang saribu yang berakhir di Bukittinggi.
Sianok rods, which means crystal clear rivers, meandering flow seen in the bottom of the canyon valley is very fertile Sianok it.Reportedly Trunk Sianok can ride laced with canoe or kayak from the Village to Village Sitingkai Lambah Palupuh Trunk takes about 3.5 hours.
Batang Sianok, yang berarti sungai yang jernih, terlihat mengalir berkelok-kelok di dasar lembah Ngarai Sianok yang sangat subur itu. Kabarnya Batang Sianok ini bisa disusuri dengan menumpang kano atau kayak dari Desa Lambah sampai Desa Sitingkai Batang Palupuh dengan waktu tempuh sekitar 3,5 jam.
Rumah Kelahiran Bung Hatta (The birth house of Bung Hatta)
The birth house of Bung Hatta is located in Jalan Soekarno-Hatta No. 37, Bukittinggi, West Sumatra. As the name implies, The Birth House is the place where the Bung Hatta Hatta was born, and lived until he was 11 years old. At that age he went to the city of Padang in order to continue his secondary education at the Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO).
Rumah Kelahiran Bung Hatta terletak di Jalan Soekarno-Hatta No. 37, Bukittinggi, Sumatera Barat. Sesuai namanya, Rumah Kelahiran Bung Hatta merupakan tempat dimana Bung Hatta dilahirkan, dan tinggal sampai beliau berusia 11 tahun. Pada usia itu beliau pergi ke Kota Padang guna meneruskan pendidikan menengahnya di Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO).
Front view of Home Birth Bung Hatta which is quite beautiful with two floors that are mostly made of wood planks. Some walls Home Birth Bung Hatta made of woven bamboo. A signboard informed visitors that the Bung Hatta Birth House is open from Monday s / d Sunday, starting at 08.00 am.
Tampak depan Rumah Kelahiran Bung Hatta yang cukup asri dengan dua lantai yang sebagian besar terbuat dari bilah-bilah papan kayu. Sebagian dinding Rumah Kelahiran Bung Hatta terbuat dari anyaman bambu. Sebuah papan memberitahu pengunjung bahwa Rumah Kelahiran Bung Hatta buka dari Senin s/d Minggu, mulai pukul 08.00 pagi.
The Birth House Restoration Bung Hatta, initiated by Azwar Anas and local government, beginning in early 1995, and inaugurated on August 12, 1995, coinciding with the birthday of Bung Hatta.
Pemugaran Rumah Kelahiran Bung Hatta, yang diprakarsai oleh Azwar Anas dan pemda setempat, dimulai pada awal 1995, dan diresmikan pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta.
Bung Hatta was born on August 12, 1902, from the pair H.Muhammad Djamil and Saleha, and is the second offspring of Syech Adurrachman, or Syech Batuhampar.
Bung Hatta dilahirkan pada 12 Agustus 1902, dari pasangan H. Muhammad Djamil dan Saleha, dan merupakan keturunan kedua dari Syech Adurrachman, atau Syech Batuhampar.
Bung Hatta lived in the house of his birth this year 1902-1913, together with the mother, grandfather, grandmother and uncle.Bung Hatta was married three months after Indonesia's independence, died in Jakarta on March 14, 1980, and was buried in General Cemetery Land charioteer, according to his request.
Bung Hatta tinggal di rumah kelahirannya ini dari tahun 1902-1913, bersama ibu, kakek, nenek dan pamannya. Bung Hatta menikah 3 bulan setelah Indonesia merdeka, meninggal di Jakarta pada 14 Maret 1980, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, sesuai permintaannya.
Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (Wildlife Parks and Cultural Kinantan)
Wildlife Parks and Cultural Kinantan is a family recreation areas and cultural attractions in the city of Bukittinggi we visited on foot across the bridge Limpapeh, shortly after seeing Fort de Kock. Entering the area Kinantan Wildlife Parks and Culture, will soon see an elephant enclosure, as well as traditional house Baanjuang used as a museum.
Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan merupakan sebuah area rekreasi keluarga dan wisata budaya di Kota Bukittinggi yang kami kunjungi dengan berjalan kaki menyeberangi Jembatan Limpapeh,sesaat setelah selesai melihat Benteng Fort de Kock. Memasuki area Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan, akan segera terlihat sebuah kandang Gajah, serta Rumah Adat Baanjuang yang digunakan sebagai museum.
Traditional House Museum in the Park Baanjuang Kinantan Wildlife and Cultural Museum was founded on July 1, 1935 under the name Mondelar, and then changed the name several times to Baanjuang Museum, Museum Bundo Kanduang and new in 2005 changed its name became an Traditional House Museum Baanjuang.Jika want entrance to this museum visitors only pay Rp. 1000 to see the museum's collection is divided into groups of ethnographic, numismatic, and biology.
Museum Rumah Adat Baanjuang di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan Museum ini didirikan pada 1 Juli 1935 dengan nama Mondelar, dan kemudian mengalami perubahan nama beberapa kali menjadi Museum Baanjuang, Museum Bundo Kanduang dan baru pada tahun 2005 berubah namanya manjadi Museum Rumah Adat Baanjuang.Jika ingin masuk ke museum ini pengunjung cukup membayar Rp. 1.000 untuk melihat koleksi museum yang dibagi ke dalam kelompok etnografi, numismatik, dan biologi.
The complex was built in 1900 by Strom Van Controleur Govent as a garden flower garden flower called "Strom Park". In 1929 the area was made by Dr. zoo. J. Hock, a veterinarian, and the only zoo in West Sumatra.
Kompleks ini dibangun tahun 1900 oleh Controleur Strom Van Govent sebagai kebun bunga yang dinamai Kebun Bunga “Strom Park”. Pada tahun 1929 area ini dijadikan kebun binatang oleh Dr. J. Hock, seorang dokter hewan, dan menjadi satu-satunya kebun binatang di Sumatera Barat.
Entrance into the Park Wildlife and Cultural Kinantan accessed through Mato Cindur Road, Upper Market, and at the same time as the gate out if we go through the area of Fort de Kock.
Gerbang masuk ke dalam Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan yang diakses melalui Jalan Cindur Mato, Pasar Atas, dan sekaligus sebagai gerbang keluar jika kita masuk melalui kawasan Benteng Fort de Kock.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal (Unknown Heroes Monument)
Unknown Hero Monument is located directly across the Bung Hatta Memorial Park, on Jl. Clock Tower, Bukittinggi, Sumatra BaratTugu the Unknown Hero is built in the middle of a circular field of plants decorated, with carved faces with wide-eyed giant fanged dragon ridden on a conical rod monument. At its peak stands the statue of young man holding a sword
Tugu Pahlawan Tak Dikenal terletak tepat di seberang Taman Monumen Bung Hatta, di Jl. Jam Gadang, Bukittinggi, Sumatera BaratTugu Pahlawan Tak Dikenal dibangun di tengah sebuah bidang bundar yang dihias tanaman, dengan ukiran wajah-wajah raksasa bertaring dengan mata melotot yang dililit naga pada batang tugu yang mengerucut. Di puncaknya berdiri patung pemuda memegang pedang
An inscription on the monument next to the Unknown Hero who tells us that this monument was built to commemorate the heroes of the resistance whose name can not be identified, who are victims of the upheaval that occurred in June 1908 in opposition to the enactment by the Dutch tax system in effect since March 1, 1908, which burden the people.
Sebuah prasasti di samping Tugu Pahlawan Tak Dikenal yang menceritakan bahwa tugu ini dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang namanya tak bisa dikenali, yang menjadi korban dalam pergolakan yang terjadi pada Juni 1908 dalam menentang diberlakukannya sistem pajak oleh Belanda yang diberlakukan sejak 1 Maret 1908, yang memberatkan rakyat.
Relief on the trunk of a giant monument of the Unknown Heroes seemed intended to depict faces wrath of the Dutch colonial drain of wealth in the country and the tax burden to the people.
Relief raksasa pada batang Tugu Pahlawan Tak Dikenal tampaknya dimaksudkan untuk menggambarkan wajah angkara murka kolonial Belanda dalam menguras kekayaan negeri dan membebani pajak kepada rakyat.
Head of the dragon that was biting a giant mouth at the bottom of the Unknown Hero Monument. Relief struggle depicted on the walls of this monument the Unknown Hero.
Kepala ular naga yang tengah menggigit mulut raksasa berada di bagian dasar Tugu Pahlawan Tak Dikenal. Relief perjuangan digambarkan pada dinding-dinding Tugu Pahlawan Tak Dikenal ini.
All around the Monument of the Unknown Hero have a garden, with seating that can be used to relax. Walkers can also be a moment to rest around the Monument of Heroes No Dikenal.Tugu Unknown Heroes were created by artists Hoerijah Adam, the first stone laying by General AH Nasution on June 15, 1963, and inaugurated in 1965.
Di sekeliling Tugu Pahlawan Tak Dikenal ini terdapat taman, dengan tempat duduk yang bisa digunakan untuk bersantai. Pejalan juga bisa sejenak beristirahat di sekitar Tugu Pahlawan Tak Dikenal.Tugu Pahlawan Tak Dikenal diciptakan oleh seniman Hoerijah Adam, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Jenderal AH Nasution pada 15 Juni 1963, dan diresmikan pada tahun 1965.
Jenjang Ampek Puluah (Ladder Ampek Puluah)
Bukittinggi attractions was built in 1908 and was originally a connecting road between atas Market with bawah Market Bukittinggi.
Tempat wisata Bukittinggi ini dibangun pada 1908 dan pada awalnya merupakan jalan penghubung antara Pasar Atas dengan Pasar Bawah Bukittinggi.
Museum Tridaya Eka Dharma (Museum Tridaya Eka Dharma)
Bukittinggi in front of tourist attractions that include Panorama Park storing aircraft, weapons, communications equipment and photographs during the struggle.
Tempat wisata Bukittinggi di depan Taman Panorama yang diantaranya menyimpan pesawat, senjata, peralatan komunikasi serta foto semasa perjuangan.
Pustaka Bung Hatta (Bung Hatta Library)
Tourist attractions in Bukit Curried Bancah Bukittinggi is built on a land area of 5600 m², equipped auditorium, mushalla, and conference rooms
Tempat wisata Bukittinggi di Bukit Gulai Bancah yang dibangun di atas tanah seluas 5600 m², dilengkapi auditorium, mushalla, dan ruang konfrensi
Taman Monumen Bung Hatta (Monument Park Bung Hatta)
Monument Park Bung Hatta Palace is next to the building of Bung Hatta, Bukittinggi, on a low hillside, shaded by many large trees that shade. Bung Hatta Memorial Park is quite large, elongated along Jl. Clock Tower is headed down to meet the T-junction with Jl. H. Agus Salim.
Taman Monumen Bung Hatta berada di samping gedung Istana Bung Hatta, Bukittinggi, pada sebuah lereng bukit yang rendah, diteduhi oleh banyak pepohonan besar yang rindang. Taman Monumen Bung Hatta ini cukup luas, memanjang di sepanjang Jl. Jam Gadang menuju ke bawah sampai bertemu pertigaan dengan Jl. H. Agus Salim.
In the small hilltop, a bronze statue of Bung Hatta seen standing with his head slightly bowed and left hands raised upward as if greeting every person who kept passing by on the street below.Below the statue are great writings of metal on the ceramic plate that reads "Monument Park Bung Hatta, Bukittinggi".
Di puncak bukit kecil itu, patung perunggu Bung Hatta terlihat berdiri dengan kepala sedikit menunduk dan sebelah tangan terangkat ke atas seakan menyapa setiap orang yang tak henti berlalu lalang di jalanan di bawahnya. Di bawah patung terdapat tulisan besar dari pelat logam di atas keramik yang berbunyi “Taman Monumen Bung Hatta Bukittinggi".
Berpeci and with glasses, pants and shirt with a typical model which is now hard to find, the Statue of Bung Hatta Hatta Memorial Park is seen with a thin smile
Berpeci dan berkaca-mata, dengan model celana dan baju khas yang sekarang sudah sulit ditemukan, Patung Bung Hatta di Taman Monumen Bung Hatta ini terlihat dengan senyum tipisnya.
Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta was born in Fort de Kock, now Bukittinggi, on August 12, 1902. The journey of his life led him to become a student, movement leaders, warriors, statesmen, and Vice President of Indonesia first and then pick back in 1956, due to dispute with President Sukarno. Bung Hatta also served as Prime Minister and Minister of Defense, as well known as the Father of Cooperatives.
Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta memang dilahirkan di Fort de Kock, kini Bukittinggi, pada 12 Agustus 1902. Perjalanan hidupnya membawanya menjadi seorang pelajar, tokoh pergerakan, pejuang, negarawan, dan Wakil Presiden Indonesia pertama yang kemudian memilih mundur pada 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Bung Hatta juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, serta dikenal sebagai Bapak Koperasi.
Bung Hatta Garden in New York City Monument built to commemorate a century of the birth of this son of the Minangkabau, which falls on August 12, 2002.
Taman Monumen Bung Hatta di Bukittinggi dibangun untuk memperingati seabad kelahiran putera Minangkabau ini, yang jatuh pada 12 Agustus 2002.