BUKITTINGGI |
Bukittinggi city began standing in line with the arrival of the Dutchwho later founded the blockhouse in 1825 during the War Padri inone of the hills contained within this city, known as Fort de Kock,as well as a resting place officers in the Dutch colonies . Later in the reign of the Dutch East Indies, the area is always enhancedrole in the constitution which later developed into aStadsgemeente (city), and also serves as the capital AfdeelingPadangsche Bovenlanden and Onderafdeeling Oud Agam.
Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825 pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini, dikenal sebagai Benteng Fort de Kock,sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota),dan juga berfungsi sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.
During the Japanese occupation, the city of Bukittinggi used as acontrol center for the region of Sumatra military government, even to Singapore and Thailand, where the city became the seat of the military commander to 25 Kenpeitai, under the command of Major General Hirano Toyoji. Then the city was renamed from Fort deKock became Stadsgemeente Bukittinggi Yaku The SHO of the area was broadened to include the surrounding villages-villageslike Sianok Anam Tribe, Gadut, Kapau, Ampang Tower, Taba and Bukit Batu Batabuah. Now Nagari is entered into the Agam regency.
Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand, di mana pada kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke 25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
After the independence of Indonesia, Bukittinggi zoned for urbangovernance based on the Decree of the Governor of the Province of Sumatra No. 391 dated June 9, 1947, once the capital of the Province of Sumatra at the time, with its governor Mr. Teuku Muhammad Hasan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947, sekaligus menjadi ibukota Provinsi Sumatera waktu itu, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.
At the time of maintaining the independence of Indonesia, the City Bukitinggi role as the city struggles, where on December 19,1948, the city is designated as the capital of Indonesia after theYogyakarta fell into Dutch hands, known as the EmergencyGovernment of the Republic of Indonesia (PDRI). Later on, the event was designated a State-Defense Day, based on the Decreeof President of the Republic of Indonesia Number 28 Year 2006 dated December 18, 2006.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, di mana pada tanggal 19 Desember 1948, kota ini ditunjuk sebagai ibukota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dikemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 18 Desember 2006.
The next big city of Bukittinggi be based on Law Number 9 Year 1956 concerning the establishment of an autonomous regionwithin the major cities of the province of Central Sumatra period,which covers the province of West Sumatra, Jambi, Riau and Riau Islands now.
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu,yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang.
Even after the issuance of Government Regulation Number 84 of 1999 as a new legal basis of regional government in the implementation of Bukittinggi, but until now still can not be implemented.
Walaupun setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 sebagai dasar hukum baru pemerintahan daerah Kota Bukittinggi namun dalam implementasinya sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan.
JAM GADANG |
BUKITTINGGI |
BUKITTINGGI |
Geografi Kota Bukittinggi (Geography of Bukittinggi)
Bukittinggi is located on the Bukit Barisan range that ran along theisland of Sumatra, surrounded by three volcanoes is Mount Singgalang, Mount Marapi and Mount Sago, and at an altitude of909-941 meters above sea level. The city is also air cool with temperatures ranging between 16.1 - 24.9 ° C. While the total areaof the current town of Bukittinggi (25.24 km ²), 82.8% have beendevoted to cultivation of land, while the rest is protected forest.
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago, serta berada pada ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut. Kota ini juga berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1 – 24.9 °C. Sementara dari total luas wilayah kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
The city has a hilly topography and berlembah, some hills are scattered in urban areas, among them the Mount Ambacang, BukitTambun Bones, Mandiangin Hill, Hill Campago, KubangankabauHill, Bukit Pinang Sabatang Nan, Canggang Hill, Hill Paninjauanand so on. While there is a valley which is also known as Sianok canyon with a depth that varies between 75-110 m, which in essentially flows a river called the Trunk Masang which empties into the west coast of the island
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan ini, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 - 110 m, yang di dasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang yang bermuara di pantai barat pulau
The development of the urban population can not be separatedfrom the change in Bukittinggi Bukittingi a trade center in the Minangkabau highlands, starting with the market built by the Dutch East Indies government in 1890 under the name loods, local people spell it with loih, with a curved roof became known as the Loih Galuang.
Perkembangan penduduk kota Bukittinggi tidak lepas dari berubahnya Bukittingi menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau, dimulai dengan dibangunya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1890 dengan nama loods, masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Today, the city Bukittingi is the most populous city in the province of West Sumatra, with a workforce of 52,631 people and about3845 of them are unemployment. City is dominated by ethnic Minangkabau, but there are also ethnic Chinese, Javanese, Tamiland Batak.
Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak.
Chinese community to come together with the emergence ofmarkets in London, they allowed the Dutch East Indies governmentto build a shop / kiosk at the foot of the hill fortress of Fort de Kockwest, stretching from south to north, now known as Kampung Cino.While the Indian traders placed in the foothills of the north, a circular from east to west and is now called Kampung Keling.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi, mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock sebelah barat, membujur dari selatan ke utara, saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling.
No comments:
Post a Comment